Rabu, 27 Juli 2011

Mgr Gabriel Manek SVD Sang Peziarah


Oleh Dr Gregor Neonbasu SVD

Setitik Harapan di Balik Kehidupannya

IA telah pergi ke rumah Bapa pada 30 November 1989, dan jenasahnya pun telah dikebumikan 5 Desember tahun yang sama di pekuburan SVD di Techny, IL, Amerika Serikat. Ketika 10 April 2007 hendak diambil kerangkanya untuk kembali ke nagi Larantuka, ternyata jenazahnya masih utuh, sama seperti ketika ia dimasukkan dalam peti 17 lebih tahun silam (kata para suster seperti bukti para saksi).

Jenazah uskup sang peziarah tetap awet: tidak ada cacat, peti masih utuh, mitra pun tampaknya masih bersih berdempet dengan kepala yang dihiasi rambut tersisir rapi, juga sebuah kain Timor masih utuh membentang di kaki uskup sang peziarah.

Minggu (15/4/2007) sore lalu, penulis bersama Rektor Soverdi Oebufu, Pater Paul Nganggung SVD, mengunjungi biara PRR Naikoten. Sr. Hilaria PRR bersama beberapa rekan suster PRR berkisah tentang jalan panjang usaha mengembalikan kerangka sang uskup, bapak pendiri tarekat ke kampung asal rohani Larantuka, Flores Timur.

Upaya itu telah dirintis semenjak tahun 2005 - 2006, yakni berbagai pendekatan dengan semua pihak, baik yang ada di USA (pemerintah dan pihak gereja maupun SVD setempat), pihak SVD dan Gereja lokal dalam negeri. Semua usaha sedang bergerak ke puncak, dan jenazah Uskup Gabriel Manek - bukan kerangka - sedang bergerak dari USA menuju Indonesia.

Tanggal 12 Maret Sr. Simprosa PRR menuju Techny yang diikuti Suster Pemimpin Umum, Sr Benedictis PRR, 12 April untuk merampungkan serta menyelesaikan berbagai urusan berkenaan dengan penggalian kubur sang pendiri.

Maka tanggal 10 April 2007 kuburan itu mulai digali. Aneh bin ajaib, peti ditemukan sedang terapung di atas air di musim semi. Tindakan yang ditempuh ketika menyaksikan kondisi demikian, waktu diundur beberapa hari untuk berdoa, hingga 14 April peti diangkat, lalu dibuka.

Ternyata jenazah masih utuh, kedua pipi sang uskup masih tampak kemerah-merahan, sebuah titik hitam tampak pada hidung, pakaian pun masih utuh, mitra tampak sangat terawat berdempetan dengan kepala sang uskup dengan rambut tersisir rapi.

Sang peziarah tampak sedang tidur dan menanti waktu untuk sesegera bale nagi Larantuka. Sebuah kain Timor, yang terletak di bagian kaki masih utuh, yang semuanya mengisyaratkan: cinta sang peziarah untuk kembali ke Indonesia.

Mendengar uraian para suster PRR yang berapi-api diselingi genangan air mata bahagia yang hampir-hampir menetes ke pipi, komentar Rektor Soverdi Oebufu, semua kejadian yang sedang dan akan kita alami ini harus ditempatkan dalam bingkai iman, iman akan kebesaran dan keagungan Tuhan. Kemuliaan Tuhan menyata dalam hidup sang peziarah!

Karena itu, yang sedang dinanti-nanti bukannya kerangka melainkan seluruh jenazah Uskup Gabriel Manek, yang diterbangkan dari USA ke Indonesia. Uskup Gabriel Manek SVD telah melukis sebuah sejarah spiritualitas yang indah dan secuil pengalaman hidup rohani yang tidak tertandingi, di mana dalam segala sepak terjang ziarah hidupnya, ia sungguh telah bersaksi tentang Tuhan yang hidup.

Segala liku-liku hidupnya yang khas bagai melodi indah untuk mewartakan Tuhan yang diimaninya, yang senantiasa setia memelihara dan membimbingnya, meski di padang sahara kesepian nun menyakiti hati sekalipun. Ia memang menderita di tanah rantau, namun lebih indah dari semuanya ia mendapat kesempatan untuk menderita bersama Tuhan yang diimaninya.

Imannya yang teguh memberi gambaran yang paling paripurna akan Tuhan sebagai the invisible hand yang selalu menuntun ke padang rumput yang hijau, ke ziarah hidup yang berkenan bagi Pencipta dan Khalik yang selalu pandai menulis lurus di atas garis-garis sejarah kehidupan manusia yang bengkok.

Dari kisah hidup beliau, seperti dilukis salah seorang konfrater senior Pater Alex Beding SVD ("Mgr Gabriel Manek SVD, Uskup, Pendiri Tarekat Puteri Reinha Rosari:, 2000) juga sebuah terbitan Komsos Provinsi SVD Timor 10 tahun sebelumnya (Kenangan 75 tahun SVD Timor [1990: 46-49], karya alm. Piet Manehat SVD dan Gregor Neonbasu SVD) dan lain-lain, di situ ditemukan bahwa meski manusia lihai berkisah lurus di atas garis-garis sejarah yang bengkok, namun kebesaran dan kemuliaan Tuhan mustahil ditipu.

Benar sekali, Tuhan sangat pandai menulis lurus di atas garis-garis sejarah manusia yang bengkok, meski manusia dengan akal-budi kehendak dan perasaannya yang rapuh sangat lihai menulis bengkok di atas garis-garis lurus kehidupan manusia yang semenjak awal dicipta Tuhan.

Sacerdos Magnus

Dalam usia sangat muda (28) beliau ditahbiskan menjadi imam (1941) bersama rekannya Pater Karel Kale Bale, SVD. Lalu 10 tahun kemudian (25 April 1951) beliau ditahbiskan menjadi Uskup Larantuka. Peristiwa tahbisan Uskup Manek sebagai penghargaan terhadap karya misi Gereja di Flores/NTT, juga sebuah respek rohani terhadap orang NTT, yang sudah mampu untuk diberi fungsi pimpinan sebagai Sacerdos Manus (baca juga Alex Beding, 2000: x).

Tempo 10 tahun berikutnya, Uskup Manek diangkat menjadi Uskup Agung Ende yang ternyata tidak semulus ketika beliau menjadi gembala di ujung timur Pulau Flores. Sebuah wawancara menarik antara beliau dengan Sr M. Gabriella PRR (16 Agustus 1986) membuktikan betapa persoalan demi persoalan datang silih berganti, seakan membimbing beliau untuk mengambil keputusan ‘sesegera mungkin hijrah’ ke USA untuk urusan medis.

Tidak mudah untuk memilih jalan yang telah diambilnya demi membebaskan diri dari tekanan, penyakit dan berbagai kesulitan di peringkat manajerial dan relasi dengan para sama saudara dalam serikat (SVD). Semuanya dapat dijalani berkat iman dan pengharapan yang kokoh kepada Tuhan.

Sebuah surat berharga dari uskup emeristus, Theodorus Sulama SVD, ketika mengisi pensiun dan menjabat Pastor Atapupu (13 Oktober 1987) sangat membesarkan hati uskup peziarah di perantauan. Kata Uskup Sulama, karya besar Tuhan telah tampak dalam seluruh kehidupan Mgr Manek. Hal itu terungkap juga dalam sebuah surat Mgr. Manek kepada Awen (Petrus Manek Mesakh) tentang liku-liku kehidupan yang sedang dijalani di perantauan nun jauh di USA (3 Agustus 1985).

Tulis Mgr. Manek, kehidupan manusia dapat berliku dan sulit dipahami oleh karena keterbatasan kemampuan manusia, namun di atas segala-gala kebesaran dan kemuliaan Tuhan tidak pernah tertandingi segala tipu daya manusia dalam zaman macam manapun. Benar, uskup peziarah telah mengalami kebesaran dan kemuliaan Tuhan yang dalam beberapa saat akan segera hadir di tengah kita.

Tuhan semenjak awal telah memberi lingkungan yang baik agar hambanya – Mgr. Manek SVD - dapat berkembang, tidak saja dalam mengimani Tuhan yang hidup, melainkan untuk menceritakan Kasih Tuhan yang lestari. Seluruh kehidupannya, baik masih di tengah kehidupan istana, maupun ketika menjadi Uskup Larantuka dan Uskup Agung Ende, dan terlebih 20-an tahun hidup di diaspora (USA) ia telah membuktikan karya besar Tuhan dalam dirinya yang rapuh.

Terbaca dengan sangat indah ekpresinya yang sangat khas ketika menjawab pertanyaan Sr M. Gabriella PRR tentang perbedaan Larantuka dan Ende. Misalnya ia mengatakan, di Ende saya merasa berat waktu itu. Keuskupan Agung Ende besar dan luas, dan saya tinggal di Ndona. Dalam banyak hal saya merasa sendirian, putuskan sendiri, orang tempat bertanya sering amat sulit diperoleh.

Saya ingin kunjungi umat seperti yang biasa saya buat di Larantuka. Tetapi hal itu sulit terlaksana. Tahun 1968, saya tinggalkan Flores, saya akhirnya jalan saja. Tuhan tahu hidup saya. Hidup mati kita memang di tangan Tuhan dan Tuhan yang tahu tentang hidup kita.

Sepintas dari sepenggal kata-katanya ini tersingkap keterbukaannya pada Kehendak Tuhan yang terbukti dari kehidupannya yang penuh derita di perantauan. Hal yang sungguh indah terlukis dalam dirinya, penyerahan diri tanpa tanggung-tanggung ke dalam kebesaran karya Tuhan.

Hal serupa terungkap secara berbeda dari co-pendiri Tareka PRR Sr. Ibu Anfrida SSpS, ketika diwawancarai Sr Benedictis PRR pada 22 Mei 1993 di Bexem, Nederland.

Pastor Bonus

Tak pernah dibayang bahwa antara tahun 1942 - 1946, sang peziarah menjadi satu-satunya pastor untuk seluruh kawasan Flores Timur, termasuk pulau-pulau sekitar Adonara, Solor, Lembata, Alor dan Pantar (Alex Beding 2000: 32 et. Seq.).

Kunci yang menjadi pokok perhatiannya adalah menyapa setiap umat secara personal: mengenal mereka, memperhatikan persoalan yang sedang dihadapi dan mencari upaya untuk meningkatkan kualitas iman umat. Ia menjadi pastor bonus, gembala yang baik dengan cara berjalan kaki, naik perahu seperti peledang ke Lamalera dan Lembata, lalu tunggang kuda untuk sedapat mungkin bertemu dengan sekian banyak umat. Di sini, imam muda Gabriel Manek membaktikan seluruh hidupnya di tengah umat yang telah diberi Tuhan kepadanya.

Yang sama dilakukan ketika menjadi Uskup Larantuka: dengan leluasa menyapa umat gembalaannya, mengunjungi dan melayani umat, yang kemudian berbias pada kehidupannya yang penuh duka di tanah rantau ketika berjuang untuk melayani suku Indian yang sangat kasar.

Mgr Manek sudah kembali kepada Bapa pada 30 November 1989, dan jenazahnya sudah berada di tengah kita. Ia berbicara kepada kita tentang karya pelayanan yang unggul di mata Tuhan, yakni karya terpuji kepada sesama tanpa lelah, karya terbaik tanpa menunggak untuk kepentingan kelompok dan diri sendiri, karya luhur yang semata hanya demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan manusia sesama, karya bhakti yang hanya demi kebesaran Pencipta dan luhurnya martabat manusia.

Akhirnya terungkap ketika beliau merayakan HUT di senja usia, di mana muncul seribu satu ucapan dari para sahabat dan kenalan, beberapa di antaranya:

To a wonderful man of God, May God grant you many blessing. Happy birthday!

Terima kasih kepada Tuhan yang memperkenankan kami mengenal Anda walau hanya dalam waktu yang singkat.

Kami telah menerima banyak berkat dan kami dibawa lebih dekat pada Tuhan.

Kami sungguh yakin, kami telah bertemu dengan seorang kudus yang masih hidup.


Yang lain:

To a special man of God, Archbishop Manek. Engkau telah memperkaya hidup saya; engkau sangat khusus buatku.

Dia memang seorang gembala sejati, seorang pelayan gereja yang tangguh dan kontekstual. Ia memiliki visi jauh ke depan untuk membesarkan kehidupan gereja lokal, yang salah satunya terungkap ketika pada 15 Agustus 1958 ia mendirikan Tarekat Puteri Reinha Rosari (PRR) yang dikemas dari persepsinya atas kehendak Tuhan untuk mendidik gadis-gadis pribumi untuk menjadi pelayan Tuhan di Kebun Anggurnya.

Beliau bale nagi Larantuka, dengan melewati tanah air leluhur di Lahurus-Timor, semata-mata atas usaha, kreativitas dan doa yang tiada henti dari para Suster PRR di seantero jagad.

Para suster PRR, profisiat atas iman, harapan dan kasih anda semua untuk berjalan bersama pendiri yang telah lama berziarah di tanah rantau!

Sumber: Pos Kupang 19 April 2007




Riwayat singkat

Lahir                                      : 18 Agustus 1913
Tempat lahir                       : Ailomea, Lahurus, Timor

Pendidikan:
1920                                       : Masuk Normalschool (SR) di Halilulik, Timor
1926                                       : Masuk Schakelschool di Ndao, Ende, Flores
1927                                       : Masuk seminari kecil di Sikka, Flores
1928                                       : Juli, pindah ke Todabelu, Mataloko
                                                 yang didirikan 15 Juli 1928,
              dan dibuka 15 September 1929.
16 Oktober 1933               : Awal masa Novisiat du Seminari Tinggi Todabelu.
17 Januari 1936                  : Mengikrarkan kaul pertama di todabelu.
15 Agustus 1940                : Ikrar kaul Kekal du Seminari Tinggi Ledalero,
                                            Maumere, Flores
15 September 1940            : Tahbisan subdiakon
28 Januari 1941                  : ditahbiskan menjadi imam pribumi pertama
                                             di NTT  bersama temannya
                                             P. Karolus Kale Bale SVD.

Tugas Pastoral:
1942 – 1946                           : satu-satunya pastor untuk seluruh Flores Timur
                                                 ( Larantuka, Adonara, Solor, Lembata, Alor).
1946                                         : Pindah ke Lahurus, Timor, selain itu beliau
                                                   terlibat dalam politik seisin Gereja.
1950                                         : Membuka Seminari Lalian.
25 April  1951                        : Ditahbiskanibumi kedua setelah  menjadi Uskup
                                                 di Larantuka. Uskup pribumi ke dua setelah
                                                  Mgr.Albertus Sugiyopranata, SJ.
15 Agustus 1958                    :   Mendirikan Konggregasi Biarawati
                                                 Putri Renha Rosari (PRR).
8 April 1961                             : Diangkat menjadi Uskup Agung Ende
                                                  sampai tahun 1968, lalu dibebastugaskan oleh
                                                  Sri Pau karena kesehatan.
Akhir 1969                              : meninggalkan Flores, Indonesia untuk
                                                  berobat ke Amerika Serikat.
30 November 1989             : Meninggal dunia dalam usia 76 tahun di
                                             RS. Sint John, Lakewood,Denver,
                                              Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Content